Penampilan musik daerah di Indonesia sering berkaitan dengan tradisi. Penampilan musik daerah kadang menyatu dengan tari, digunakan sebagai pengiring dalam upacara adat, sebagai ilustrasi pergelaran teater tradisi dan sebagai media hiburan.
Musik daerah memiliki arti penting bagi masyarakat pendukungnya, secara umum musik berfungsi sebagai media rekresi/hiburan untuk menanggalkan segala macam kepenatan dan keletihan dalam aktivitas sehari-hari. Musik daerah berfungsi sebagai sarana upacara adat, penggiring tari tradisional, media bermain dan media penerangan.
Musik daerah merupakan bagian dari kegiatan lain. Beberapa daerah di Indonesia, bunyi-bunyian tertentu dianggap memiliki kekuatan yang dapat mendukung kegiatan magis. Sehingga musik terlibat dalam upacara adat. Contohnya upacara Merapu di Sumba menggunakan irama bunyi-bunyian untuk memanggil dan menggiring kepergian roh ke pantai merapu (alam kubur).
Irama musik dapat berpengaruh pada perasaan seseorang untuk melakukan gerakan-gerakan indah dalam tari. Tari daerah hanya dapat diiringi dengan musik daerah. Contohnya tari Kecak (Bali), tari Pakarena (Sulawesi), tari Mandalika (Nusa Tenggara Barat), tari Ngaseuk (Jawa Timur), tari Mengaup (Jambi), dan tari Mansorandat (Papua).
Lagu-lagu rakyat (folksongs) didaerah pedesaan banyak digunakan sebagai media bermain anak-anak. Banyak lagu dijadikan nama permainan anak-anak. Contohnya lagu Cublak-Cublak Suweng (Jawa Tengah), Ampar-Ampar Pisang (Kalimantan), Ambil-ambilan (Jawa Barat), Tanduk Majeng (Madura), Sang Bangau dan Pok Ame-Ame (Betawi).
Lagu-lagu dalam iklan layanan masyarakat merupakan contoh fungsi musik sebagai media penerangan. Lagu sebagai media penerangan berisi tentang pelestarian lingkungan dan adat istiadat. Pada masyarakat modern lagu sebagai media penerangan bisa berisi tentang pemilu, Keluarga Berencana dan ibu hamil, penyakit AIDS, dan sebagainya.
Selain dalam iklan layanan masyarakat, lagu yang bernapaskan agama juga menjadi media penerangan, musik qasidah, terbangan, dan zipin dengan syair-syair lagu dari Al-qur’an.
Penampilan penyanyi musik tradisi berpakaian ketat bahkan memakai stagen, bernyanyi dengan posisi bersimpuh, tetapi suaranya terdengar merdu dan menarik. Hal ini sesuai dengan peribahasa bahwa ”Banyak jalan menuju Roma”, artinya banyak cara yang dapat ditempuh untuk mencapai tujuan atau cita-cita.
Masyarakat dan suku bangsa asli Papua menari sekaligus bernyanyi dan bermain Tifa yaitu alat musik pukul dengan sumber bunyi membran (alat musik gendang masyarakat Papua) dalam kelompok. Stamina mereka tetap terjaga, mereka memakan ulat sagu yang kaya protein.
Berikut contoh sinden menyanyi tradisional dari Jawa :
Berikut contoh pesta khas Papua di Festival Kamaro :
Pada masyarakat Sunda (Cianjur) terdapat mamaos atau mamaca. Mamaos adalah tembang yang telah lama dikenal sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya mamaos dinyanyikan kaum laki-laki. Namun, selanjutnya mamaos juga dinyanyikan oleh kaum perempuan.
Kaum perempuan yang terkenal dalam menyanyikan mamaos yaitu Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Bahan mamaos berasal dari seni suara Sunda seperti pantun, beluk (mamaca). Pada masyarakat Jawa ada macapat. Mamaos pantun sering disebut papantunan, ada pupuh yang sering dikenal dengan tembang, ada juga istilah Kawih dan Sekar.
Penyanyi musik tradisi sangat memperhatikan kesehatan badan dengan mengonsumsi jamu tradisional. Jamu tradisional berasal dari jenis tanaman atau hewan. Penyanyi atau pesinden musik tradisi mempunyai banyak pantangan dan harus mendekatkan diri pada Sang Khalik.
Penyanyi musik tradisi disebut Pesindhen atau sindhen (Bahasa Jawa) adalah perempuan yang bernyanyi mengiringi gamelan dan sebagai penyanyi satu-satunya. Pesindhen yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas, keahlian vokal yang baik dan kemampuan untuk menyanyikan tembang.
Pesinden sering disebut sinden, menurut Ki Mujoko Joko Raharjo berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana “wara” berarti seseorang berjenis kelamin perempuan, dan “anggana” berarti sendiri.
Zaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang disajikan dalam klenengan atau pergelaran wayang.
Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang berhubungan dengan pergelaran wayang atau klenengan di daerah Banyumas, Yogyakarta, Sunda, dan Jawa Timur. Saat ini sinden tidak hanya tampil sendiri tetapi bisa 8 – 10 orang, bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk bersimpuh di belakang dalang, tepatnya di belakang pemain gender dan didepan pemain kendang.
Bernyanyi unisono adalah bernyanyi satu suara. Masyarakat dari beberapa suku di Indonesia hanya terbiasa bernyanyi dalam satu suara, yaitu sesuai dengan melodi pokoknya saja. Lagu daerah yang ada di setiap provinsi merupakan warisan budaya.
Musik dan lagu daerah di Indonesia sangat beragam. Setiap daerah memiliki gaya dalam menyanyikan lagu daerah masing-masing. Lagu daerah berisi nilai moral yang perlu diwariskan. Lagu daerah ada yang ditampilkan dengan melakukan permainan tradisional.
Lagu daerah merupakan kekayaan warisan budaya yang perlu dilestarikan dan dikembangkan. Pelestarian dan pengembangan warisan budaya ini dapat dilakukan dengan tetap menyanyikan sesuai situasi dan kondisi tempat lagu tersebut harus dinyanyikan.
Daftar Pustaka
Purnomo, Eko., Deden H., Buyung R., & Julius Juih. 2017. Seni Budaya SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta : Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.